Photobucket Photobucket
SEKILAS INFO : bagi para semeton yang memiliki artikel dan layak untuk diketahui oleh kita semua khususnya tentang kebhujanggaan mohon kiranya dapat di kirim lewat e-mail ke : ngurah7wirawan@yahoo.co.id untuk diposting pada blog ini. suksma.

Sabtu, 22 Oktober 2011

Pengabenan Kolektif Maha Warga Bhujangga Waisnawa Kabupaten Jembrana 2011 berjalan sukses.


Para semeton Maha Warga Bhujangga Waisnawa Kabupaten untuk kesekian kalinya melaksanakan pengabenan kolektif, bertepatan dengan Saniscara Pon Wuku Ugu, tanggal 22 Oktober 2011 adalah puncak pelaksanaannya bertempat di areal bangsal pengabenan milik Ida Bhujangga Rsi gria Petamon- Kebon – Baler Bale Agung - Negara.

Kali ini thema upacara pengabena adalah Upacara Pitra Yadnya “ Atma Pratista “ , seperti tahun lalu pelaksanaan upacara pitra yadnya yang dilaksanakan meliputi : Memungkah, Memukur, Ngelungah dan Ngepah Ayu. Jumlah peserta sebanyak 78 peserta dengan rincian : Memungkah sebanyak 3 peserta, Memukur sebanyak 20 peserta, Ngelungah sebanyak 17 peserta dan peserta paling banyak adalah upacara Ngepah Ayu sebanyak  38 peserta. ( Mengenai Upacara Pengepah Ayu Dhanda Bharunana (Keguguran/Menggugurkan Kandungan) ini telah ditulis pada blog ini pada edisi Minggu, 23 Mei 2010 ).

Pelaksanaan pengabenan kolektif ini adalah merupakan program dua tahunan kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa Kabupaten Jembrana. Seperti tahun lalu pelaksanaan pengabenan ini selalu berprinsip pada efisiensi ,sederhana sesuai dengan sastra - sastra peninggalan para leluhur bhujangga waisnawa.

Persiapan pelaksanaan telah dimulai sejak tanggal  14 Juli 2011 dimulai dengan rapat persiapan yang dilaksakan di  Gria Petamon, Kelurahan Baler Bale Agung, Kecamatan Negara dengan menghadirkan pengurus Kemoncolan Moncol Maha Warga Bhujangga Waisnawa serta semua Kemancaan dari  Kemancaan Melaya, Kemancaan Negara, Kemancaan Jembrana, Kemancaan Mendoyo dan Kemancaan Pekutatan serta Ida Bhujangga Rsi Widya Sara dan Ida Bhujangga Rsi Widya Sari Gria Petamon, Banjar Kebon, Kelurahan Baler Bale Agung sebagai narasumbernya.

Sebagai Yajamana Upacara Pitra Yadnya Atma Pratista ini adalah Ida Bhujangga Rsi Widya Sara dan Tapini Ida Bhujangga Rsi Widya Sari saking griya  Petamon Kebon Kelurahan Baler Bale Agung Negara.

Karya ini dipuput oleh Ida Bhujangga Rsi gria Batur Tegalcangkring,Kecamatan Mendoyo  Ida Bhunagga Rsi gria Petamon, Kebon- Baler Bale Agung, Kecamatan Negara dan  Ida Bhujangga Rsi gria Batur Suci Gumbrih , Kecamatan Pekutatan serta dibantu oleh Guru Mangku dan Biyang Serati dari Kelompok Serati Waisnawa dari gria Petamon Baler Bale Agung Negara dan dukungan para semeton Maha Warga Bhujngga Waisnawa Kabupaten Jembrana.

Melalui kesempatan ini panitia mengucapkan terima kasih kepada semua fihak yang telah membantu pelaksanaan Upacara Pitra Yadnya ini, semoga  dimasa mendatang kebersamaan  yang baik ini dapat dipelihara secara terus menerus.

Dok. Peseraman Teledu Nginyah Jembrana.

Minggu, 05 Juni 2011

Pedoman banten upacara pengabenan sederhana dan terjangkau akan segera diterbitkan.

Bertempat di Gria Batur Suci Gumbrih, pada tanggal 5 Juni 2011 telah berlangsung pembahasan tentang penyederhanaan banten pengabenan. Hal ini dimaksudkan untuk mengembalikan hal pokok yang harus ada dalam upakara banten pengabenan dalam rangka meringankan beban para umat dalam melaksanakan upacara ngaben. Sebagai narasumber adalah Ida Bhujangga Rsi Widya Sara dari Gria Petamon Jembrana dan Ida Bhujangga Rsi Dharma Santika dari Gria Batur Suci Gumbrih. Disamping itu juga menghadirkan narasumber Bape Sekar dari Desa yeh Embang, yang dalam penyampaian menyatakan bahwa kita harus kembali kepada pedoman atau petunjuk para Rsi yang telah ditulis dalam lontar – lontar , khususnya petunjuk dari Ida Maha Rsi Markhandeya  tentang tatacara dan upakara banten pengabenan yang telah beliau buat untuk masyarakat Bali, yang menurut istilah bape Sekar sebagai “ Pengupak “ ( pembuka ) jagat Bali ini. Menururt Bape Sekar bahwa baik tatacara dan baten yang sekarang telah banyak bergeser dari konsep semula yang cendrung terkesan mewah dan menghabiskan biaya banyak, sehingga masyarakat yang kurang mampu tidak dapat melaksanakan upacara pengabenan bagi keluarganya. Sebagai moderator dalam acara ini adalah Guru Komang Wiasa,M.Si Moncol Maha Warga Bhujangga Waisnawa Kabupaten Jembrana. Menurutnya masukan yang didapat dari acara ini akan dibuat  buku pedoman tentang Tatacara dan banten Pengabenan yang sederhana tetapi tidak mengurangi maknanya dengan baiaya yang terjangkau oleh masyarakat yang kurang mampu. Acara ini juga dihadiri oleh Ketua PHDI Kecamatan Pekutatan , Pengurus Moncol Maha Warga bhujangga Waisnawa Kabupaten Jembrana dan beberapa bendesa pekeraman setempat.Pada intinya para peserta sangat mengharapkan dikeluarkannya buku pedoman yang akan dibuat ini, sehingga masyarakat yang kurang mampu dapat melaksanakan upacara pengabenan bagi keluarganya dengan biaya yang terjangkau.
Dok. Pesraman Teledu Nginyah – Jembrana.

Minggu, 17 April 2011

Pemelaspas, Mendem Pedagingan dan Piodalan di Pura Teledu Nginyah - Gumbrih - Jembrana

Setelah selesai melaksanakan pembangunan fisik di Beji Pura Teledu Nginyah maupun di Pura Teledu Nginyah - Gumbrih - Jembrana, akhirnya pada hari Minggu wuku Watugunung ( Redite Pemelastali ) tgl. 17 April 2011 dilaksanakan Pemelaspasan, mendem pedagingan dan piodalan.Acara tersebut di puput oleh Ida Bhujangga Rsi Lingsir dari Gria Batur Tegalcangkring dan Ida Bhujangga Rsi Dharma Santika dari Gria Batur Suci Gumbrih.Para pemedek yang tangkil  bukan saja dari semeton Maha Warga Bhujangga Waisnawa yang ada di Kabupaten Jembrana maupun Buleleng, tetapi juga dari Umat Hindu umumnya.Dalam sambutannya Moncol  Maha Warga Bhujangga Waisnawa Kabupaten Jembrana Guru Komang Wiasa menyampaikan bahwa keberadaan beji dan pura Teledu Nginyah ini merupakan penyungsungan jagat untuk memuja kebesaran Ida Shangyang Widi Wasa dalam manifestasi beliau sebagai Tri Murti yang secara hakiki tidak dapat dipisahkan satu sama lain.Disamping itu Guru Moncol juga menyampaikan bahwa Beji dan Pura Teledu Nginyah ini merupakan tempat untuk memuja leluhur umat hindu yang telah " Ngoet " jagat Bali ini. Dalam acara ini  juga dihadiri oleh Bapak Camat Pekutatan, Ketua PHDI Kecamatan Pekutatan, Majelis Madya Kecamatan Pekutatan , Perbekel Desa Gumbrih, Bendesa Pekeraman Gumbrih, Bendesa Pekeraman Pangyangan dan Bendesa Pekeraman Pengeragoan Dauh Tugad.Acara di akhiri dengan persembahyangan bersama.

Dok. Pesraman Teledu Nginyah - Jembrana.

Senin, 10 Januari 2011

Pura Gunung Raung dari sebuah pohon yang bercahaya

Ini salah satu pura tertua di Bali. Letaknya di Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar. Pura ini erat sekali kaitannya dengan perjalanan Rsi Markandya, seorang resi dari Pasraman Gunung Raung, Jawa Timur, ke Bali untuk menyebarkan ajaran Sanatana Dharma (Kebenaran Abadi) yang kini dikenal dengan sebutan Hindu Dharma.

Setelah terlebih dahulu mengawali langkahnya dengan mendirikan Pura Basukian di Besakih, selanjutnya Rsi Markandya membangun pasraman (semacam pesantrian) di Taro. Pasraman inilah yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Pura Gunung Raung di Desa Taro tersebut.

Di desa Taro, Pura Gunung Raung ini terletak persis di tengah-tengah desa dan menjadi pembatas Banjar Taro Kaja (utara) dan Banjar Taro Kelod (selatan). Ini adalah sesuatu yang unik, sebab pada umumnya letak pura di Desa Kuno di Bali adalah di daerah hulu dan di daerah hilir desa.

Tentang perjalanan Rsi Markandya, menurut lontar Bali Tatwa, mulanya Sang Resi berasrama di Damalung, Jawa Timur. Selanjutnya, beliau mengadakan tirthayatra (perjalanan suci) ke arah timur hingga ke Gunung Hyang (Dieng). Tak ada tempat ideal yang ia temukan sebagai pasraman dalam perjalanan suci tersebut. Resi Markandya pun melanjutkan perjalanannya ke arah timur hingga tiba di Gunung Raung, Jawa Timur. Di tempat inilah beliau membangun asrama dan melakukan pertapaan.

Suatu hari, dalam samadinya, beliau mendapatkan petunjuk agar meneruskan perjalanan ke arah timur lagi, yakni ke Pulau Bali. Petunjuk itu pun dilaksanakannya. Diiringi 8000 pengikut, beliau melanjutkan perjalanan sucinya ke Bali.

Tiba di sebuah tempat yang berhutan lebat di lambung Gunung Agung, Rsi Markandya berkemah dan membuka areal pertanian. Namun, para pengikut beliau terkena wabah penyakit hingga sebagian di antaranya meninggal dunia. Hanya sekitar 4000 pengikut saja yang tersisa.

Melihat keadaan itu, Resi Markandya kembali ke Jawa Timur untuk bersamadi dan memohon petunjuk. Tuhan yang menampakkan dirinya sebagai Sang Hyang Pasupati kemudian hadir dan memberi tahu Sang Rsi bahwa kesalahannya adalah tidak melakukan ritual dan mempersembahkan sesaji untuk mohon izin saat hendak merambah hutan. Mendapat keterangan demikian, Resi Markandya kembali menuju Bali dan terus menuju Gunung Agung (Ukir Raja). Saat itu beliau diring oleh para pengikut yang disebut Wong Age.

Setiba di Gunung Agung, Rsi Markandya mengadakan upacara dengan menanam Panca Datu yaitu lima jenis logam (emas, perak, besi, perunggu, timah) yang merupakan simbolis dari kekuatan alam semesta. Di tempat pelaksanaan ritual dan pemendaman panca datu tersebut kemudian didirikan pura yang dinamakan Pura Basukian yang menjadi cikap bakal berdirinya kompleks Pura Besakih.

Setelah itu memendam panca datu dan melakukan ritual lainnya, barulah kemudian Sang Rsi memerintahkan pengikutnya untuk membuka lahan pertanian menurun hingga ke Gunung Lebah di Ubud. Sampai di sebuah lahan yang cukup strategis, beliau mengadakan penataan seperti pembagian lahan untuk perumahan dan pertaian untuk para pengikutnya. Desa itu kemudian dinamakan Desa Puakan.

Selanjutnya, Rsi Markadya juga memerintahkan sebagian pengikutnya membuka lahan hingga ke sebuah tempat yang subur yang dinamakan Desa Sarwa Ada. Di sana beliau juga melakukan penataan dan pembagian lahan bagi para pengikutnya. Dan, setelah semua pengikutnya mendapatkan lahan untuk melanjutkan dan mengembangkan kehidupannya, beliau kemudian membangun sebuah pasraman yang serupa dengan pasramannya di Gunung Raung, Jawa Timur. Entah kenapa, pada saat itu kembali Resi Markandya mendapatkan banyak gangguan dan kesulitan.

Seperti sebelumnya, Rsi Markandya kembali ke Jawa Timur dan mengadakan samadi. Tak ada petunjuk apa pun yang beliau peroleh selain perintah untuk kembali melakukan samadi di pasraman beliau di Bali. Ketika petunjuk itu beliau turuti, Rsi Markandya melihat seberkas sinar cemerlang memancar dari sebuah tempat. Ketika didekatinya, sinar tersebut berasal dari sebatang pohon. Di pokok pohon yang menyala itulah Rsi Markandya mendirikan pura yang sekarang dinamakan Pura Gunung Raung.

Pura dengan pohon yang bersinar tersebut menjadi pusat desa. Karenanya, desa tersebut dinamakan Desa Taro. Taro berasal dari kata ”taru” yang berarti pohon. Sedangkan nama pura dan pasramannya sama dengan nama sebelumnya yakni Gunung Raung.

Sebelumnya, di Desa Taro, hidup sapi putih yang dipercayai oleh masyarakat setempat sebagai keturunan Lembu Nandini (Tunggangan Dewa Siwa). Sapi putih itu dikeramatkan oleh penduduk di Desa Taro. Dang Hyang Markandya adalah seorang resi yang menganut paham Waisnawa, namun dengan membiarkan masyarakat tetap mengeramatkan sapi putih itu, menunjukan bahwan beliau menghormati keberadaan paham Siwaisme yang sudah sempat tumbuh dan berkembang di Taro.

Dok. Pesraman Teledu Nginyah Jembrana
Dari berbagai sumber.

Jumat, 07 Januari 2011

Karya Agung Ring Pura Kawitan Bhujangga Waisnawa,Gunungsari,Jatiluwih.

Point-Point Penting yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan Karya Agung Ring Kawitan Bhujangga Waisnawa.
Setiap pelaksanaan upacara yadnya yang mengambil tingkatan kayangan jagat di tanah bali pasti memiliki tujuan utama yaitu untuk menjaga harmonisasi antara hubungan manusia dengan manusia, harmonisasi hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitar dan harmonisasi hubungan manusia dengan TuhanNYA. Begitu pula karya agung yang akan dilakukan di kawitan Bhujangga Waisnawa Jatiluwih. Untuk mencapai tujuan ini ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan supaya karya agung yang diselenggarakan di kawitan bhujangga ini benar-benar tepat sasaran.

Menjaga Harmonisasi dengan Gunung.
Kawitan bhujangga ini terletak di lereng bagian timur laut gunung batukaru. Mengingat letak ini dikaitkan dengan menjaga harmonisasi dengan alam semesta, maka sebelum persiapan karya dimulai maka sangat perlu sekali untuk matur uning ke Puncak Gunung Batukaru. Hal ini mungkin sudah diperhitungkan oleh pihak panitia karya akan tetapi realisasinya pasti akan dilakukan menjelang puncak karya yaitu nunas pekuluh pemuput ke puncak. Nah disinilah bisa terjadi misinterpretasi. Disini gunung Batukaru bertindak sebagai tuan rumah, bukan sebagai tamu. Karena sebagai tuan rumah maka dari awal kita sudah harus matur uning ke puncak mempermaklumkan akan menyelenggarakan karya besar diwewengkon beliau. Bahkan karena dipuncak kedaton (puncak gunung batukaru) juga merupakan linggih Ida Betara Resi, maka acara naik ke puncak ini disamping matur uning akan melakukan karya juga sekaligus akan mendak beliau sebagai pengrajeg karya dalam kapasitas ida sebagai IDA BHUJANGGA LUWIH (Ida Betara Lingsir Puncak Kedaton). Kemudian pada waktu upacara pekelem maka harus melakukan prosesi pekelem ring puncak gunung Batukaru.

Menjaga harmonisasi dengan danau.
Kawitan bhujangga secara geografis merupakan bagian dari gunung Batukaru. sesuai dengan konsep purusa pradana. Maka Gunung Batukaru sebagai purusa dan Danau Tamblingan sebagai Pradana. Disamping karena dasar sastra pemilihan danau tamblingan ini karena terkait historis perjalanan sang bhujangga sebelum sampai di jatiluwih dimana beliau terlebih dahulu menetap diseputaran danau tamblingan. Hal yang perlu diperhatikan disini yaitu mepekelem ke danau Tamblingan. Disamping itu alasan harus mepekelem ke puncak kedaton dan ke danau tamblingan ini disesuaikan dengan status karya yaitu karya ring kawitan, dimana disini yang diutamakan adalah konsep leluhur (lanang istri, purusa pradana) maka gunung batukaru menjadi simbol bapak dan danau tamblingan menjadi simbol ibu.

Menjaga harmonisasi dengan laut.
Secara geografis kawitan bhujangga waisnawa terletak di Kabupaten Tabanan maka normalnya seharusnya segara yang dipilih sebagai tempat mepekelem pasti pantai di sebelah barat Tanah Lot (maaf penulis tidak tahu pasti namanya). Akan tetapi perlu diingat bahwa Pura Kawitan ini bukan hanya merupakan sungsungan semeton Tabanan melainkan sungsungan semeton bhujangga di seluruh Bali. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan secara lebih luas dan lebih matang dalam pemilihan segara yang akan dipakai terkait dengan karya agung ini. Sebagai pembanding penulis akan menceritakan sedikit tentang pura Batur Kintamani. Pura Batur secara geografis terletak di bali utara, maka secara tidak langsung pantai yang dipilih sebagai tempat melasti ida betara batur dalam kapasitas beliau sebagai betara pengrajeg jagat Bali utara pasti terletak di bali utara yaitu di pantai depan Pura Penegil Dharma. Akan tetapi kalau pura Batur dipandang sebagai pengrajeg jagat Bali maka pantai yang beliau pilih sebagai tempat mebeji agung ternyata terletak di pantai Batubolong Canggu. Sehingga kalau di pura Batur melakukan karya dengan tingkat tertinggi ida betara akan mebeji agung ke Batubolong, Canggu. Kalau tingkat upacara menengah akan melakukan melasti ke Buleleng. Berdasarkan kajian ini dan berdasarkan petunjuk dari ida betara lingsir bhujangga yang diterima oleh penulis maka untuk karya agung di kawitan bhujangga Bali ini seharusnya mengambil pantai Batu Bolong Canggu, bukan pantai di Tabanan. Alasannya :
Seperti yang kita ketahui pura Batur merupakan stana utama dari Dewa Wisnu di tanah Bali. Jikalau sampai betara Wisnu yang berstana di pura Batur memutuskan memilih segara Batubolong sebagai tempat mebeji agung ini artinya dari sekian ratus pantai ditepi pulau Bali maka pantai yang memiliki vibrasi Wisnu atau Waisnawa paling besar d Bali adalah pantai Batubolong, Canggu. Oleh karena itu sebagai keturunan penganut paham waisnawa maka pantai Batubolong adalah pilihan terbaik untuk kebangkitan paham waisnawa dalam menjaga keseimbangan alam bali.

Di pantai Batubolong Canggu terdapat pura Bhujangga.
Sesuai cihna dan bukti yang sudah nyata ada dihadapan kita semua pratisentana bhujangga Bali bahwa satu-satunya pura Bhujangga ditepi pantai(selain Tledu Nginyah Gumbrih) yang tidak bisa berpindah tangan atau direbut oleh berbagai pihak yang ingin menjatuhkan bhujangga dari jaman dahulu sampai sekarang adalah pura Bhujangga, Canggu Batubolong. Kenapa leluhur begitu gigih mempertahankan pura ini dari jaman dahulu sampai sekarang, karena seperti yang diutarakan pada point pertama bahwa pantai Batubolong telah dari jaman Ida Maharsi Markandeya telah ditandai sebagai titik utama waisnawa di bali dan titik kebangkitan paham waisnawa. Dan jikalau ida betara kawitan melasti maka dengan keberadaan pura ini maka beliau bisa disanggra ditempat ini (sarana dan prasarana utama sudah siap) dan para semeton sane ngemit tur nyarengin ida melasti sida mesanekan ring genah sane sampun sayuakti duwen ida bhujangga.

Pemakaian pura Bhujangga Canggu akan memunculkan Lingga Acala yang pasti dari semeton Bhujangga Bali yaitu sesuai dengan konsep bhujangga Suku Cecek, Purusa Pradana, Gunung Segara, Bhujangga Sakti Bhujangga Luwih. Dimana Jatiluwih akan menjadi Gunung dan Batubolong menjadi Segara. Pertemuan dua kekuatan ini akan menjadi poros utama kebangkitan bhujangga Bali. Kelahiran kembali para pendeta dan pemimpin bhujangga.Oleh karena itu ida betara lingsir bhujangga sangat mengharapkan dua kutub ini bisa disatukan dalam karya agung ini. Sehingga pekelem kerbau bisa dilakukan di pantai Batubolong.

PENGRAJEG KARYA
Dikarenakan karya ini berlangsung di pura kawitan maka sudah sepatutnya yang didudukan sebagai pengrajeg karya adalah konsep purusa pradana karena kita datang ke kawitan pasti akan berharap bertemu leluhur lanang istri. Disamping itu dari jaman Bali kuna semeton bhujangga sudah memakai konsep keseimbangan ini sebagai pondasi utama dalam menata jagat bali dan menjaga keseimbangan sekala niskala jagat Bali sehingga para leluhur kuno ini diseluruh pura-pura kuno di Bali distanakan dalam konsep ida bhujangga sakti dan ida bhujangga luwih. Dikarenakan jatiluwih telah dipilih sebagai kawitan bersama seluruh semeton bhujangga diseluruh jagat maka seharusnya yang distanakan di Jatiluwih adalah konsep leluhur bhujangga kuno yang dikenal dengan Ida Bhujangga Sakti dan Ida Bhujangga Luwih. Beliau inilah yang seharusnya dijadikan pengrajeg karya sebagai simbol leluhur tertua yang akan menuntun dan membimbing sehingga karya dapat berjalan dengan lancar.Berdasarkan petunjuk dari para lelangit bhujangga maka pengrajeg karya dalam karya agung ini ada dua yaitu :
1. Ida Bhujangga Sakti yang dipendak ke Pura Puakan (Puncak Sabang Dahat).
2. Ida Bhujangga Luwih yang dipendak ke puncak kedaton (Puncak Gunung Batukaru).

Penulis/Narasumber : Guru Made Dwijendra Sulastra – Pedungan – Denpasar.
Dok. Pesraman Teledu Nginyah Jembrana.

Senin, 27 Desember 2010

Sekte Waisnawa dan Tri Sadaka



Menurut Dr. Goris, sekte-sekte yang pernah ada di Bali setelah abad IX meliputi Siwa Sidhanta, Brahmana, Resi, Sora, Pasupata, Ganapatya, Bhairawa, Waisnawa, dan Sogatha (Goris, 1974: 10-12).
Di antara sekte-sekte tersebut, yang paling besar pengaruhnya di Bali sekte Siwa Sidhanta.Ajaran Siwa Sidhanta termuat dalam lontar Bhuanakosa.
Sekte Siwa memiliki cabang yang banyak.Antara lain Pasupata, Kalamukha, Bhairawa, Linggayat, dan Siwa Sidhanta yang paling besar pengikutnya.Kata Sidhanta berarti inti atau kesimpulan.Jadi Siwa Sidhanta berarti kesimpulan atau inti dari ajaran Siwaisme.Siwa Sidhanta ini megutamakan pemujaan ke hadapan Tri Purusha, yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa. Brahma, Wisnu dan dewa-dewa lainnya tetap dipuja sesuai dengan tempat dan fungsinya, karena semua dewa-dewa itu tidak lain dari manifestasi Siwa sesuai fungsinya yang berbeda-beda. Siwa Sidhanta mula-mula berkembang di India Tengah (Madyapradesh), yang kemudian disebarkan ke India Selatan dipimpin oleh Maharesi Agastya.
Sekte Pasupata juga merupakan sekte pemuja Siwa. Bedanya dengan Siwa Sidhanta tampak jelas dalam cara pemujaannya. Cara pemujaan sekte Pasupata dengan menggunakan Lingga sebagai simbol tempat turunnya/berstananya Dewa Siwa.Jadi penyembahan Lingga sebagai lambang Siwa merupakan ciri khas sekte Pasupata.Perkembangan sekte Pasupata di Bali adalah dengan adanya pemujaan Lingga.Di beberapa tempat terutama pada pura yang tergolong kuno, terdapat lingga dalam jumlah besar.Ada yang dibuat berlandaskan konsepsi yang sempurna dan ada pula yang dibikin sangat sederhana sehingga merupakan lingga semu.
Adanya sekte Waisnawa di Bali dengan jelas diberikan petunjuk dalam konsepsi Agama Hindu di Bali tentang pemujaan Dewi Sri. Dewi Sri dipandang sebagai pemberi rejeki, pemberi kebahagiaan dan kemakmuran. Di kalangan petani di Bali, Dewi Sri dipandang sebagai dewanya padi yang merupakan keperluan hidup yang utama. Bukti berkembangnya sekte Waisnawa di Bali yakni dengan berkembangnya warga Rsi Bujangga.
Adanya sekte Bodha dan Sogatha di Bali dibuktikan dengan adanya penemuan mantra Bhuda tipeyete mentra dalam zeal meterai tanah liat yang tersimpan dalam stupika.Stupika seperti itu banyak diketahui di Pejeng, Gianyar.Berdasarkan hasil penelitian Dr. W.F. Stutterheim mentra Budha aliran Mahayana diperkirakan sudah ada di Bali sejak abad ke 8 Masehi. Terbukti dengan adanya arca Boddhisatwa di Pura Genuruan, Bedulu, arca Boddhisatwa Padmapani di Pura Galang Sanja, Pejeng, Arca Boddha di Goa Gajah, dan di tempat lain.
Sekte Brahmana menurut Dr. R. Goris seluruhnya telah luluh dengan Siwa Sidhanta.Di India sekte Brahmana disebut Smarta, tetapi sebutan Smarta tidak dikenal di Bali. Kitab-kitab Sasana, Adigama, Purwadigama, Kutara, Manawa yang bersumberkan Manawa Dharmasastra merupakan produk dari sekte Brahmana.
Mengenai sekte Rsi di Bali, Goris memberikan uraian yang sumir dengan menunjuk kepada suatu kenyataan, bahwa di Bali, Rsi adalah seorang Dwijati yang bukan berasal dari Wangsa (golongan) Brahmana.Istilah Dewarsi atau Rajarsi pada orang Hindu merupakan orang suci di antara raja-raja dari Wangsa Ksatria.
Pemujaan terhadap Surya sebagai Dewa Utama yang dilakukan sekte Sora, merupakan satu bukti sekte Sora itu ada.Sistem pemujaan Dewa Matahari yang disebut Suryasewana dilakukan pada waktu matahari terbit dan matahari terbenam menjadi ciri penganut sekte Sora.Pustaka Lontar yang membentangkan Suryasewana ini juga terdapat sekarang di Bali.Selain itu yang lebih jelas lagi, setiap upacara agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang telah melakukan yajnya.
Sekte Gonapatya adalah kelompok pemuja Dewa Ganesa.Adanya sekte ini dahulu di Bali terbukti dengan banyaknya ditemukan arca Ganesa baik dalam wujud besar maupun kecil. Ada berbahan batu padas atau dai logam yang biasanya tersimpan di beberapa pura. Fungsi arca Ganesa adalah sebagai Wigna, yaitu penghalang gangguan.Oleh karena itu pada dasarnya Ganesa diletakkan pada tempat-tempat yang dianggap bahaya, seperti di lereng gunung, lembah, laut, pada penyebrangan sungai, dan sebagainya.Setelah zaman Gelgel, banyak patung ganesha dipindahkan dari tempatnya yang terpencil ke dalam salah satu tempat pemujaan. Akibatnya, patung Ganesa itu tak lagi mendapat pemujaan secara khusus, melainkan dianggap sama dengan patung-patung dewa lain.
Sekte Bhairawa adalah sekte yang memuja Dewi Durga sebagai Dewa Utama.Pemujaan terhadap Dewi Durga di Pura Dalem yang ada di tiap desa pakaman di Bali merupakan pengaruh dari sekte ini.Begitu pula pemujaan terhadap Ratu Ayu (Rangda) juga merupakan pengaruh dari sekte Bhairawa.
Sekte ini menjadi satu sekte wacamara (sekte aliran kiri) yang mendambakan kekuatan (magic) yang bermanfaat untuk kekuasaan duniawi. Ajaran Sadcakra, yaitu enam lingkungan dalam badan dan ajaran mengenai Kundalini yang hidup dalam tubuh manusia juga bersumber dari sekte ini.
Pada tahun Saka 910 (988 M), Bali diperintah raja Dharma Udayana.Permaisurinya berasal dari Jawa Timur bernama Gunapria Dharmapatni (putri Makutawangsa Whardana).Pemerintahan Dharma Udayana dibantu beberapa pendeta yang didatangkan dari Jawa Timur. Antara lain Mpu Kuturan. Mpu Kuturan diserahi tugas sebagai ketua majelis tinggi penasehat raja dengan pangkat senapati, sehingga dikenal sebagai Senapati Kuturan.
Seperti telah diuraikan sebelumnya, sebelum pemerintahan suami istri Dharma Udayana/Gunapria Dharmapatni (sejak awal abad ke 10), di Bali telah berkembang berbagai sekte.Pada mulanya sekte-sekte tersebut hidup berdampingan secara damai.Lama-kelamaan justru sering terjadi persaingan.Bahkan tak jarang terjadi bentrok secara fisik.Hal ini dengan sendirinya sangat menganggu ketentraman Pulau Bali.Sehubungan dengan hal tersebut, raja lalu menugaskan kepada Senapati Kuturan untuk mengatasi kekacauan itu.Atas dasar tugas tersebut, Mpu Kuturan mengundang semua pimpinan sekte dalam suatu pertemuan yang dilakukan di Bataanyar (Samuan Tiga).Pertemuan ini mencapai kata sepakat dengan keputusan Tri Sadaka dan Kahyangan Tiga.
Nah, terkait dengan Bujangga Waisnawa sampai masuk ke Bali, sejarahnya tentu harus dicari lagi.Ternyata, walaupun tidak khusus juga terdapat di buku Leluhur Orang Bali karangan I Nyoman Singgih Wikarman tentang perjalanan Maharsi Markandya ke Bali.
Perjalanan Beliau ke Bali pertama menuju Gunung Agung.Di sanalah maharsi dan murid-muridnya membuka hutan untuk pertanian.Tapi sayang, murid-muridnya kena penyakit, banyak di antaranya meninggal.Akhirnya Beliau kembali ke Pasramannya di Gunung Raung. Di sanalah beryoga, ingin tahu apa sebabnya hingga bencana menimpa para pengikutnya. Hingga mendapat pawisik bahwa terjadinya bencana itu adalah karena Beliau tidak melaksanakan upacara keagamaan sebelum membuka hutan itu.
Setelah mendapat pawisik, Maharsi Markandya pergi kembali ke Gunung Tahlangkir (Tohlangkir) Bali.Kali ini mengajak serta pengikut sebanyak 400 orang.Sebelum mengambil pekerjaan, terlebih dahulu menyelenggarakan upacara ritual, dengan menanam Panca dhatu di lereng Gunung Agung itu.Demikianlah akhirnya semua pengikutnya selamat.Maka, itu wilayah ini lalu dinamai Besuki, kemudian menjadi Besakih, yang artinya selamat. Tempat maharsi menanam Panca dhatu, lalu menjadi pura, yang diberi nama Pura Besakih.
Entah berapa lamanya Maharsi Markandya berada di sana, lalu Beliau pergi menuju arah Barat dan sampai di suatu daerah yang datar dan luas, di sanalah lagi merabas hutan. Wilayah yang datar dan luas ini lalu diberi nama Puwakan. Kemungkinan dari kata Puwakan ini lalu menjadi Swakan dan terakhir menjadi subak.
Di tempat ini Rsi Markandya menanam jenis-jenis bahan pangan.Semuanya bisa tumbuh dan menghasilkan dengan baik.
Oleh karenanya tempat itu juga disebut Sarwada yang artinya serba ada.Keadaan ini bisa terjadi karena kehendak Sang Yogi.Kehendak bahasa Balinya kahyun atau adnyana.Dari kata kahyun menjadi kayu.Kayu bahasa Sansekertanya taru, kemungkinan menjadi Taro. Taro adalah nama wilayah ini kemudian.
Di wilayah Taro ini Sang Yogi mendirikan sebuah pura, sebagai kenangan terhadap pasraman Beliau di Gunung Raung. Puranya sampai sekarang disebut Gunung Raung.Di sebuah bukit tempatnya beryoga juga didirikan sebuah pura yang kemudian dinamai Pura Payogan, yang letaknya di Campuan Ubud.Pura ini juga disebut Pura Gunung Lebah.
Berikutnya Rsi Markandya pergi ke Barat dari Payogan itu, dan sampai di sana juga membangun sebuah pura yang diberi nama Pura Murwa dan wilayahnya diberi nama Pahyangan, yang sekarang menjadi Payangan.
Orang-orang Aga, murid Sang Yogi, menetap di desa-desa yang dilalui.Mereka bercampur dan membaur dengan orang-orang Bali Asli. Mereka mengajarkan cara bercocok tanam yang baik, menyelenggarakan yajna seperti yang diajarkan oleh Rsi Markandya. Dengan demikian Agama Hindu pun dapat diterima dengan baik oleh orang-orang Bali Asli itu.
Sebagai Rohaniawan (Pandita), orang Aga dan Bali Mula, adalah keturunan Maharesi Markandya sendiri yang disebut Warga Bujangga Waisnawa.
Dalam zaman raja-raja berikutnya, Bujangga Waisnawa ini selalu menjadi Purohita mendampingi raja, ada yang berkedudukan sebagai Senapati Kuturan, seperti Mpu Gawaksa dinobatkan menjadi Senapati Kuturan oleh Sang Ratu Adnyanadewi tahun 1016 Masehi, sebagai pengganti Mpu Rajakerta (Mpu Kuturan). Ratu ini pula yang memberikan kewenangan kepada Sang Guru Bujangga Waisnawa untuk melakukan pacaruan Walisumpah ke atas. Karena sang pendeta mampu membersihkan segala noda di bumi ini. Lalu Mpu Atuk yang masih keturunan Rsi Markandya, di masa pemerintahan Sri Sakala Indukirana (1098 M), dinobatkan sebagai Senapati Kuturan dari Keturunan Bujangga Waisnawa.
Pada masa pemerintahan Suradhipa (1115-1119 M), yang dinobatkan sebagai Senapati Kuturan dari keturunan Sang Rsi Markandya adalah Mpu Ceken, kemudian diganti oleh Mpu Jagathita.Kemudian ketika pemerintahan Raghajaya (1077 M), yang diangkat sebagai Senapati Kuturan yakni Mpu Andonaamenang, dari keluarga Bujangga Waisnawa.Demikianlah seterusnya.
Ketika pemerintahan raja-raja selanjutnya, selalu saja ada seorang Purohita Raja atau Dalem yang diambil dari keluarga Bujangga Waisnawa, keturunan Maharsi Markandya.Sampai terakhir masa pemerintahan Dalem Batur Enggong di Bali.Ketika itu yang menjadi Bagawanta Dalem, mewakili sekte Waisnawa, adalah dari Bujangga Waisnawa pula dari Griha Takmung. Namun sayang dan mungkin sudah kehendak Dewata Agung, terjadi kesalahan Sang Guru Bujangga, di mana Beliau selaku Acarya (Guru) telah mengawini sisyanya sendiri yakni Putri Dalem yaitu Dewa Ayu Laksmi. Atas kesalahan ini sang Guru Bujangga Waisnawa akan dihukum bunuh. Tapi Beliau segera menghilang dan kemudian menetap di wilayah Tabanan.
Semenjak kejadian inilah Dalem tidak lagi memakai Bhagawanta dari Bujangga Waisnawa keturunan Sang Rsi Markandya.Setelah kedatangan Danghyang Nirartha di Bali, posisi Bhagawanta diambil alih Brahmana Siwa dan Budha.Selesailah sudah peranan Bujangga Waisnawa sebagai pendamping raja di Bali.Bahkan setelah strukturisasi masyarakat Bali ke dalam sistem wangsa oleh Danghyang Nirartha atas restu Dalem, keluarga Bujangga Waisnawa tidak dimasukkan lagi sebagai Warga Brahmana.
Namun sisa-sisa kebesaran Bujangga Waisnawa dalam peranannya sebagai pembimbing masyarakat Bali, terutama dari kalangan Bali Mula dan Bali Aga masih dapat kita lihat sampai sekarang. Pada tiap-tiap pura dari masyarakat Bali aga/mula itu, selalu ada palinggih sebagai Sthana Bhatara Sakti Bhujanga.Alat-alat pemujaan selalu siap pada palinggih itu.Orang-orang Bali aga/mula, cukup nuhur tirtha (mohon air suci), terutama tirtha pangentas melalui palinggih ini.Sampai sekarang para warga ini tidak berani mempergunakan atau nuhur Pedanda Siwa.
Warga Bujangga Waisnawa, keturunan Maharsi Markandya sekarang telah tersebar di seluruh Bali. Pura Padarmannya di sebelah Timur Penataran Agung Besakih, sebelah Tenggara Padharman Dalem.Demikian juga pura kawitannya tersebar di seluruh Bali, seperti di Takmung Kabupaten Klungkung, Batubulan Kabupaten Gianyar, Jatiluwih Kabupaten Tabanan dan lain-lain tempat lagi.
Begitulah Maharsi Markandya, leluhur Warga Bujangga Waisnawa penyebar Agama Hindu pertama di Bali, dan warganya sampai sekarang ada saja yang melaksanakan Dharma Kawikon dengan gelar Rsi Bujangga Waisnawa.


Dok. Pesraman Teledu Nginyah - Jembrana

Rabu, 17 November 2010

Pemugaran Beji Pura Teledu Nginyah Gumbrih-Jembrana.

Dalam rangka memelihara tetamian leluhur baik berupa  pura maupun  beji yang ada, maka sesuai dengan program kerja 2011 – 2015 Moncol Maha Warga Bhujangga Waisnawa Kabupaten Jembrana saat ini sedang dilakukan  pemugaran dan pelebaran “ Beji Teledu Nginyah – Gumbrih – Jembrana “. Adapun tahapan pelaksanaannya dimulai dengan mengadakan pertemuan antara Ida Bhujangga Rsi Gria Batur Suci – Gumbrih, Pengurus Moncol Maha Warga Bhujangga Waisnawa yang diwakili oleh Guru Putu Tumulia Esnawa ( Wakil Sekretaris ), pemilik lahan dan para semeton penyanding. Pada kesempatan pertemuan tersebut telah disepakati akan melaksanakan pemugaran dan perluasan tegak karang beji. Selanjutnya telah dilakukan pula penyukatan karang yang dilaksanakan oleh Ida Bhujangga Rsi Dharma santika, Gria Batur Suci Gumbrih. Pelaksanaan pembangunan akan dilakukan secara bertahap didahului dengan pemasangan pondasi dan pembuatan tangga menuju bulakan suci yang berada di tepi sungai.Bagi para semeton Maha Warga Bhujangga Waisnawa dan umat hindu umumnya  yang ingin berdana punia dapat menyalurkan punianya kepada alamat sebagai berikut :

Dalam bentuk bahan bangunan dapat menghubungi Seksi Bangunan  Guru Putu Sumardika
dengan alamat : Desa Gumbrih, Kecamatan Pekututan, Kab. Jembrana, No. HP.085237256161.

Dalam bentuk uang dapat menghubungi Bendahara  Guru Nyoman Sinia
dengan  alamat : Desa Gumbrih, Kecamatan Pekututan, Kab. Jembrana  No. HP. 081338304553.

Melalui Rekening Pura Teledu Nginyah Desa Gumbrih pada Bank BPD Pekutatan  :  042.02.22.15126-0.

Semoga para leluhur selalu memberikan tuntunannya kepada kita semua.
Om Santih, Santih, Santih Om
Dok. Pesraman Teledu Nginyah Jembrana

Panca Senjata atau Panca Bajra Ageman Ida Bhujangga Rsi Waisnawa.

Sering kali kita melihat Ida Rsi Bhujangga tatkala melakukan puja mantra dalam upacara bhuta yadnya, khususnya pecaruan disetiap ada upacara di pura maupun di rumah pribadi umat, menggelar Panca Senjata atau sering juga disebut Panca Bajra, tetapi sering kali kita belum dapat memahami makna dan kegunaan dari masing – masing Panca Senjata atau Panca Bajra tersebut. Sebagai gambaran sekelumit tentang diskripsi Panca Senjata atau Panca Bajra tentang bentuk, bahan, fungsi/kegunaan serta modelnya, dapat diuraikan seperti dibawah ini :

                                                                                    1. SUNGU.

Sungu terbentuk secara alami dari kulit Kerang Besar atau sering disebut Sangka Kala dalam kisah Mahabarata, sungu merupakan terompet perangnya Pandawa yang biasanya ditiup oleh Sri Krishna saat mulai dan berakhirnya perang di medan kurusetra. Satu – satunya dari Panca Senjata milik Ida Bhujangga Rsi Waisnawa yang terbentuk/terbuat secara alami. Bentuk dan modelnya sangat beragam.
Cara menggunakannya dengan meniup.
Kegunaan adalah untuk ngentegang buta-buti,kala-kali,kala dengen, tonyo alas,tonyan jurang bhuta – bhuti di perempatan dan di setra/kuburan.

                                                                                    2. GENTA ORAG.

Genta Orag terbuat dari kuningan terdiri dari genta yang kecil – kecil yang ditempatkan dalam satu tempat yang dilengkapi dengan ornamen yang beragam dan biasanya dilengkapi dengan tangkai tempat untuk memegang, jika dimainkan suaranya terdengar gemerincing. Bentuk dan modelnya sangat beragam.
Cara menggunakannya dengan mengoyangkan arah kanan dan kiri.
Kegunaannya untuk ngentagang jiwan buron yang berbisa/beracun dan yang membuat gatal.


                                                                                    3. KETIPLUK.

Ketipluk atau juga disebut Damaru terbuat dari kayu yang berdiameter sekitar 15 Cm yang dilobangi tembus kemudian di kedua ujung ditutup dengan kulit sapi mirip seperti kendang tetapi lebih kecil, di bagian tengah biasanya diikatkan tali serta pada ujung tali diberi benda kecil ( mirip ujung panggul kendang ), serta  diberitangkai tempat untuk memegang.
Cara menggunakannya adalah dengan memutar tangkai kekanan dan kekiri.
Kegunaannya adalah untuk mengundang dan ngentegang jiwan para preta atau atma kesasar, roh binatang/beburon.


                                                                                    4. GENTA UTER/BAJRA UTER.
Genta Uter/Bajra Uter terbuat dari kuningan serta dilengkapi dengan tongkat kecil serta ornament  yang beragam . Bentuk dan modelnya sangat beragam.
Cara menggunakannya dengan dipukul sekali dengan tongkat kecil kemudian diputarkan pada bibir Genta/Bajra Uter tersebut searah jarum jam. Jika kita mendengarkan suara genta/bajra uter ini dengan seksama suara yang terdengar terasa memenuhi angkasa.
Kegunaannya adalah untuk nuhur atau menurunkan para linggih Dewata Nawa Sanga untuk menyaksikan para bhuta – bhuti menerima lelabaan atau caru.


                                                                                    5. GENTA PADMA.

Genta Padma terbuat dari bahan kuningan dengan beberapa ornament.
Cara menggunakannya dengan digoyang. Pada umumnya kita telah lazim melihatnya ketika Ida bhujangga Rsi dan parasulinggih sedang melakukan puja mantra.
Kegunaannya adalah untuk nuntunang weda ( Japa Mantra ) sang sulinggih rikalaning memuja.
Bentuk dan modelnya yang pernah kita lihat selama ini seperti lazimnya yang telah digunakan oleh para sulinggih umumnya. Tetapi dengan bermunculannya genta/bajra belakangan ini peninggalan maharsi jaman dulu secara gaib/niskala ternyata bentuk dan modelnya sangat beragam.

Demikianlah sekelumit tentang Panca Senjata atau Panca Bajra yang dipergunakan dalam muput upacara, khususnya Upacara Bhuta Yadnya oleh Ida Bhujangga Rsi saat muput Caru. Semoga tulisan ini dapat menambah wawasan kita tentang Panca Senjata atau Panca Bajra ageman Ida Bhujangga Rsi Waisnawa. Jika para semeton mempunyai ulasan yang lebih mendalam tentang Panca Senjata atau Panca Bajra dapat disampaikan melalui e-mail ke : ngurah7wirawan@yahoo.co.id  dalam rangka memperkaya pengetahuan kita tentang tetamian leluhur. Suksma.

Sumber : Ida Bhujangga Rsi Dharma Santika Gria Batur Suci – Gumbrih dan Sumber lainnya.
Photo Panca Bajra : Druwen Ida Bhujangga Rsi Gria Batur Suci – Gumbrih.
Dok.Pesraman Teledu Nginyah Jembrana.

Kamis, 23 September 2010

Visi Dan Misi Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa Kabupaten Jembrana

Drs. I Komang Wiasa,M.Si ( Mocol Maha Warga Bhujangga Waisnawa Kabupaten Jembrana 2010 - 2015 ).

Dalam agama Hindu, Wişņu merupakan salah satu dewa Trimurti yang dianggap sebagai dewa pemelihara dunia. Pemujaan terhadap Wişņu telah disinggung dalam Ŗg-Weda, Yajur-Weda, Sama-Weda, dan Atharwa-Weda. Dalam kitab-kitab itu, Wişņu belum dianggap sebagai dewa yang tinggi kedudukannya seperti pada masa selanjutnya. Dikatakan bahwa Wişņu mempunyai sifat sebagai matahari, dan telah mengunjungi tujuh bagian dunia. Ia mengelilingi dunia dengan tiga langkah (tiwikrama). Wisnu merupakan dewa yang menjelma dalam tiga wujud; api, halilintar, dan sinar matahari. Ketiga wujud ini menunjukkan tiga wujud perjalanan matahari; terbit, mencapai cakrawala (zenit), dan terbenam.  Penyembahan pada Wisnu dalam bentuk matahari biasanya disebut Surya Narayana. Pemujaan Surya Narayana pada umumnya dikerjakan pada hari Minggu dan pada hari-hari besar tertentu. Dalam kitab Rg-Weda disebutkan bahwa Wisnu merupakan pelindung. Dari sinilah asal mula benih-benih yang kemudian berkembang menuju semakin tingginya kedudukan Wişņu di masa kemudian. Memelihara adalah merupakan sifat – sifat Dewa Wisnu oleh sebab itu sangat jelas tugas seorang waisnawa hendaknya meniru laku Dewa Wisnu sebagai Dewa Pemelihara. Adapun beberapa sumber tentang keagungan Dewa Wisnu antara lain :
  1. Harian Wina Naiwa Srestim Turanti artinya : diantara para dewa hanya wisnu yang memberikan kebahagian sejati ( Atarwa Weda ).
  2. Yada yada hi dharmasya glanir bhavati bharata, abhyuttanam adharmasya tadatmanam sryamy aham artinya sesungguhnya manakala dharma berkurang kekuasaannya dan tirani hendak merajalela, wahai arjuna, saat itu Aku ciptakan diriku sendiri. Paritranaya sadhunam vinasaya ca duskrtram, dharma-samsthapanarthaya sambhavami yuge-yuge artinya untuk melindungi orang - orang baik dan untuk memusnahkan orang yang jahat, Aku lahir ke dunia dari masa ke masa, untuk menegakkan dharma.
  3.  Padmasana dilihat dari Fungsinya adalah untuk menstanakan tuhan beserta manifestasinya tetapi jika dilihat dari sisi ornament ada konsep Bedawang Nala dan Garuda Wisnu maka padmasana lebih spesifik sebagai tempat suci untuk menstanakan Dewa Wisnu ( Dewa Pemelihara ), maka sangatlah tepat jika seorang bhujangga waisnawa memiliki padmasana di rumahnya sebagai tempat suci untuk melaksanakan pemujaan kepadaNya.
Beliau tidak dapat dipami baik oleh Ilmu pengetahuan maupun meditasi belaka, beliau hanya dapat dipahami dengan kasih sayang dan ketaatan. Untuk mewujudkan dalam kehidupan sehari hari sifat pemelihara itu maka Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa Kabupaten Jembrana sebagai salah satu organisasi telah  memiliki Visi, Misi dan Program serta Kegiatan untuk mengimplementasikan sifat – sifat Dewa Wisnu dalam kehidupan sehari – hari.

A. Visi  : Memelihara Warisan Leluhur Umat Hindu.
B. Misi :
1.    Memelihara diri ( Jatma Kertih ).
2.    Memelihara Keluarga.

3.    Memelihara Pura–Pura ( Atma Kertih ).
4.    Memelihara Griya.
5.    Memelihara Purana/Lontar/Piagem.
6.    Memelihara Lingkungan Hidup. ( Sad Kertih ).

C. Program Kerja 2011 – 2015.
1.    Pendataan Keluarga.
2.    Memelihara Griya.
3.    Memeliharan Pura Teledu Nginyah, Beji Pura Jati 

       Luwih, dan Tirta Segara Rupek.
4.    Melaksanakan Penghijauan dalam rangka Taman Gumi 

       Banten.
5.    Melaksanakan Pengabenan secara Kolektif.
6.    Melaksanakan Diklat Serati dan Pakerti Banten.

Dok. Pesraman Teledu Nginyah – Jembrana.

Senin, 20 September 2010

Upacara Pitra Yadnya“ Kusa Pranawa “ Maha Warga Bhujangga Waisnawa Kabupaten Jembrana Berjalan Sukses.

Maha Warga Bhujangga Waisnawa Kabupaten Jembrana mengadakan Upacara Pitra Yadnya“ Kusa Pranawa “( manut lontar Yama Purana Tatwa, Batur Kelawasan Petak dan Yama Purwana Tatwa )  yang puncak karyanya pada tanggal  15 September 2010  ( Budan Manis Wuku Dukut ). Persiapan pelaksanaan telah dimulai pada tanggal  18 Juli 2010 dimulai dengan rapat persiapan bertempat di  Gria Petamon, Kelurahan Baler Bale Agung, Kecamatan Negara kemudian diawali dengan upacara pengeringkesan dan dilanjutkan dengan Puja pengaskara pengabenan/tarpana saji pada tanggal 14 September 2010 kemudian dilanjutkan dengan Upacara Pelebuan ring setra Baler Bale  Agung, Kecamatan Negara Kabupaten Jembrana. Jumlah Peserta Upacara  Pitra Yadnya “  KusaPranawa “kali ini diikuti sebanyak 42 pengarep dan sebanyak  64 pitara yang dipuput dengan rincian sebagai berikut : Memungkah sebanyak 6, Memukur sebanyak 19, Nglungah sebanyak 17 dan Ngepah Ayu sebanyak 22. Biaya yang di pungut untuk masing – masing upacara yang diikuti sebagai berikut :  Memungkah sebesar Rp. 2.500.000,- sampai meajar - ajar, Memukur sebesar Rp. 2.000.000,- sampai meajar - ajar, Nglungah sebesar Rp. 300.000,- dan upacara Ngepah Ayu sebesar Rp. 200.000,- yang merupakan upacara khas untuk pertama kali dilaksanakan oleh para semeton Maha Warga Bhujangga Waisnawa Kabupaten Jembrana. Biaya banten keseluruhan untuk upacara ini menghabiskan sebesar Rp. 19.000.000,-dengan banten pokok : Banten Pengabenan : Taman Pulegembal, Banten Pemukuran : Bebangkit Sari serta caru Manca Sanak.Upacara ini dipuput oleh Ida Bhujangga Rsi Hari Anom Palguna saking Gria Batur Tegalcangkring dan Ida Bhujangga Rsi Widya Sara saking Gria Petamon Kebon, Kelurahan Baler Bale Agung dan dibantu oleh pemangku serta kelompok serati pekerti banten “ Waisnawa “ Gria Bhujangga Rsi Petamon, Kebon, Kelurahan Baler Bale Agung Negara -Jembrana.Rangkaian upacara pitra yadnya ini dilanjutkan dengan meajar – ajar ke :Pura Gowa Lawah, dan kawasan Pura Besakih seperti : Pura Dalem Puri, Pura Basukihan, Pedarman Brahmana Bhujangga Waisnawa, Linggih Ida Rsi Markhandeya dan Penataran Besakih.Sebagai Yajamana Upacara Pitra Yadnya Kusa Pranawa ini adalah Ida Bhujangga Rsi Widya Sara dan Tapini Ida Bhujangga Rsi Widya Sari saking griya  Petamon Kebon Kelurahan Baler Bale Agung Negara. Melalui kesempatan ini segenap Panitia dan Pengarep mengucapkan terima kasih  kepada semua fihak atas semua bantuan yang telah diberikan sehingga Upacara Pitra Yadnya " Kusa Pranawa " ini dapat berjalan lancar.

Dok. Pesraman Teledu Nginyah - Jembrana.

Rabu, 28 Juli 2010

Jejak Perjalanan Ida Rsi Markandeya dan Ida Rsi Madura Di Tanah Lombok Dan Sekitarnya.

Setelah memastikan pulau Bali merupakan titik sinar yang beliau lihat pada waktu bersemedi di Gunung Raung Jawa. Maka untuk memastikan suatu saat nanti di masa depan pulau Bali akan tetap menjadi pulau yang suci, maka  Ida Maharsi Markandeya berusaha melindungi pulau Bali dengan cara memagari pulau Bali dengan sinar-sinar suci. Proses pemagaran pulau Bali ini terkait dengan penanaman panca datu di beberapa pulau yang mengelilingi pulau Bali. Tujuan dari penanaman panca datu di pulau-pulau yang mengelilingi pulau Bali ini adalah dengan tujuan jikalau suatu saat sinar kesucian pulau Bali mulai meredup akibat pola prilaku sekala-niskala dari penduduk Bali yang mulai tidak sesuai dengan kaidah Tri Kaya Parisudha dan Tri Hita Karana maka sinar-sinar suci dari pulau-pulau yang mengelilingi pulau Bali inilah yang akan memberikan sokongan energi supaya energi kesucian pulau Bali tetap terjaga. Singkat cerita, dalam tulisan ini penulis memfokuskan pada perjalanan Ida Maharsi Markandeya ke tanah Lombok dalam rangka menanam panca datu dan dalam rangka menandai titik-titik spiritual di tanah Lombok yang suatu saat akan menjadi sumber energi spiritual yang bukan hanya akan menjaga keseimbangan pulau Lombok dan sekitar akan tetapi juga akan menjadi cadangan energi spiritual untuk pulau Bali jikalau pulau Bali sudah mulai kotor. Jejak perjalanan Ida Maharsi Markandeya ditanah Lombok diawali lewat Nusa Penida. Setelah menandai titik-titik spiritual di Nusa Penida seperti Puncak Mundi, Puncak Tunjuk Pusuh, Puncak Tinggar, Dalem Ped, Giri Putri, Sekar Taji dll, Ida Maharsi Markandeya melanjutkan perjalanan beliau ke pulau Lombok. Di pulau Lombok ini beliau pertama kali beryoga semadi di puncak Gunung Sari (sekarang menjadi lokasi pura Gunung Sari, Lombok), disini Ida ditemani oleh putun Ida yang bernama Ratu Ayu Manik Tirta Mas. Kemudian setelah itu beliau beryoga semadi di puncak Baliku (sekarang menjadi lokasi pura Puncak Baliku), disini Ida ditemani oleh istri beliau yang bernama Ida Ratu Niang Sarining Suci. Setelah itu beliau lanjut menandai titik Gunung Pengsong. Di Gunung Pengsong beliau bertemu dengan seorang wanita cina yang jaman sekarang dikenal dengan Ida Ratu Niang Gunung Pengsong atau ditanah Bali dikenal dengan nama Ida Hyang Betari Dewi Anjani. Di Gunung Pengsong ini Ida Hyang Maharsi Markandeya melakukan kawin kesaktian dengan Ida Hyang Betari Dewi Anjani. Jadi selama bertapa di Gunung Pengsong ini Ida Maharsi Markandeya ditemani oleh Ida Hyang Betari Dewi Anjani. Tempat pertapaan beliau ini yang pada jaman sekarang ini menjadi cikal bakal Pura Puncak Gunung Pengsong. Taksu hasil kawin kesaktian dari Ida Maharsi Markandeya dan Ida Hyang Dewi Anjani di Gunung Pengsong ini merupakan taksu kesuburan, kemakmuran dan kesejahteraan. Setelah menyelasaikan proses pembangkitan sinar suci di Gunung Pengsong kemudian Ida Maharsi Markandeya ditemani dengan Ida Hyang Betari Dewi Anjani melanjutkan perjalanan ke Puncak Gunung Rinjani. Di Puncak Gunung Rinjani ini Ida Maharsi Markandeya mengumpulkan energi dari semua titik sinar suci di pulau Lombok yang suatu saat jika diperlukan akan dikirim ke pulau Bali untuk menjaga kesucian pulau Bali. Di puncak Gunung Rinjani ini Ida Hyang Maharsi Markandeya menunggalkan semua sinar kesucian yang beliau dapat di pulau Lombok. Akibat dari hasil penunggalan semua sinar suci pulau Lombok ini maka di Puncak Gunung Rinjani, Ida Betara Lingsir Maharsi Markandeya dikenal dengan Ida Hyang Lingsir Maharsi SUKMA JATI. Setelah Ida Maharsi Markandeya merasa cukup membangkitkan titik kesucian pulau Lombok, kemudian beliau berencana melanjutkan perjalanan meninggalkan pulau Lombok menuju Gunung Tambora. Untuk tetap menjaga kesucian pulau Lombok khususnya setelah ditinggalkan oleh beliau maka Tongkat Komando Penguasa pulau Lombok diserahkan kepada Ida Hyang Betari Dewi Anjani. Karena tugas yang maha berat ini kemudian Ida Maharsi Markandeya menunggalkan semua sinar suci yang telah dikumpulkan selama masa pertapaan Ida dan Hyang Dewi Anjani dari pertapaan di Gunung Pengsong sampai puncak Gunung Rinjani. Hasil penunggalan/pemurtian sinar suci ini kemudian menyebabkan Ida Hyang Betari Dewi Anjani bergelar IDA HYANG BETARI AMBUN JAGAT. Gelar ini mencerminkan bahwa Ida Hyang Betari Dewi Anjani adalah pengayom dan pelindung jagat Lombok dan sekitarnya. Sehingga sampai saat ini yang diyakini berstana dan merupakan betara lingsir puncak Gunung Rinjani Lombok adalah Ida Hyang Betari Dewi Anjani. Sepeninggal Ida Maharsi Markandeya, suatu saat ratusan tahun kemudian atas petunjuk spiritual yang diberikan oleh Ida Maharsi Markandeya, datanglah murid spiritual beliau yaitu Ida Hyang Mpu Siddhimantra bertapa di puncak Gunung Rinjani untuk melanjutkan tugas Ida Maharsi Markandeya. Jadi di atas puncak Gunung Rinjani secara garis besar terdapat tiga Ida Betara Lingsir yang menjadi pengayom dan penjaga kesucian Gunung Rinjani yaitu : Ida Hyang Lingsir Maharsi Sukma Jati yang merupakan penunggalan dari Ida Maharsi Markandeya, Ida Hyang Betari Lingsir Ambun Jagat yang merupakan penunggalan dari Ida Hyang Betari Dewi Anjani dan Ida Hyang Mpu Siddhimantra sebagai pelaksana teknis dari Gunung Rinjani. Setelah menyelesaikan penandaan dan pembangkitan sinar-sinar suci di pulau Lombok kemudian Ida Hyang Maharsi Markandeya berdasarkan petunjuk yang didapat di puncak Gunung Rinjani kemudian melanjutkan perjalanan ke puncak Gunung Tambora. Berdasarkan petunjuk yang didapat dari puncak Gunung Rinjani, meskipun Gunung Tambora tidak berbatasan langsung dengan pulau Bali, akan tetapi jika tidak ditandai dan dibangkitkan sinar sucinya maka Gunung tersebut suatu saat akan bisa menghancurkan pulau Bali, ini terbukti dengan terjadinya letusan paling dasyat di muka bumi ini yaitu pada tahun 1881 dimana efeknya ikut meluluhlantakan kehidupan di Bali. Singkat cerita Ida Maharsi Markandeya sampai ke puncak Gunung Tambora, disini beliau bertemu dengan seorang wanita yang nantinya akan menjadi istri beliau di puncak Gunung Tambora beliau bernama Ida Hyang Betari Ibu Dewi Wulan. Ida Hyang Betari Ibu Dewi Wulan sepeninggal Ida Maharsi Markandeya dari puncak Gunung Tambora, kelak kemudian hari juga dikenal dengan nama Ida Hyang Betari Bhujangga Suci. Atas tugas dari alam semesta untuk melindungi Gunung Tambora, sehingga ditempat ini Ida Maharsi Markandeya menanam pancer berupa manik-manik yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan Gunung Tambora. Atas tugas inilah alam semesta memberi gelar Ida Betara Lingsir Pancer Manik Tunggul kepada Ida Maharsi Markandeya sebagai Betara Lingsir Puncak Gunung Tambora. Sama seperti Ida Hyang Mpu Siddimantra yang dipanggil oleh Guru Niskala Ida yaitu Ida Hyang Maharsi Markandeya untuk melanjutkan menjaga kesucian puncak-puncak di tanah Lombok maka sama seperti halnya Ida Hyang Maharsi Madura. Ida Maharsi Madura dipanggil ratusan tahun berikutnya ke tanah Lombok untuk melanjutkan tugas Maharsi Markandeya untuk menjaga kesucian pulau Lombok. Akan tetapi, Ida Maharsi Madura dalam kapasitas sebagai Ida Rsi Dalem Segara, hanya ditugaskan untuk menjaga kesucian laut Lombok. Titik yang dipilih oleh Ida Rsi Madura dalam mendoakan dan menjaga kesucian laut-laut di pulau Lombok, pada jaman sekarang ini dikenal dengan PURA BATU BOLONG. Setelah jaman Ida Maharsi Markandeya, Ida Mpu Siddimantra dan Ida Maharsi Madura barulah ratusan berikutnya datang Ida Peranda Sakti Wawu Rauh atau yang nantinya di Lombok dikenal dengan Tuan Semeru. Ida Peranda Sakti tidak dapat napak puncak-puncak di Lombok, akan tetapi beliau napak di puncak Gunung Tambora. Disinilah beliau mendapat julukan Tuan Semeru. Mudah-mudahan dengan cerita di atas dapat membuka wawasan berpikir saudara-saudara di Bali akan jejak perjalanan para pendeta ditanah Lombok beserta dengan titik-titik napak tilasnya.

Sumber : Guru Made Dwijendra Sulastra.
Dok. Pesraman Teledu Nginyah Jembrana

Selasa, 20 Juli 2010

Pengabenan Bersama/Kolektif.



Maha Waga Bhujangga Waisnawa Kabupaten Jembrana akan mengadakan pengabenan bersama/kolektif yang puncak karyanya pada tanggal 15 September 2010 ( Buda Manis Wuku Dukut ). Persiapan pelaksanaan telah dimulai pada tanggal  18 Juli 2010 dimulai dengan rapat persiapan bertempat di  Gria Petamon, Kelurahan Baler Bale Agung, Kecamatan Negara dengan menghadirkan pengurus Kemoncolan yaitu Moncol Maha Warga Bhujangga Waisnawa Guru Komang Wiasa,M.Si, Sekretaris Guru Putu Ngurah Wirawan, Guru Putu Gede Tumulia Esnawa, Ketua III Bidang Pelemahan Guru Kade Sarpa serta semua Kemancaan: Kemancaan    Melaya, Kemancaan Negara, Kemancaan Jembrana, Kemancaan Mendoyo dan Kemancaan Pekutatan serta Ida Bhujangga Rsi Widya Sara dan Ida Bhujangga Rsi Widya Sari Gria Petamon, Banjar Kebon, Kelurahan Baler Bale Agung sebagai narasumber. Acara rapat persiapan ini dipimpin oleh Guru Komang Wiasa, M.Si. Kegiatan pengabenan bersama/kolektif ini adalah merupakan Program Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa Kabupaten Jembrana tahun 2010 -2015 yang dilaksanakan setiap dua tahun sekali. Terakhir pelaksanaan pengabenan serupa pada bulan September 2008. Dalam pengarahan yang disampaikan oleh Guru Komang Wiasa bahwa pengabenan bersama /kolektif ini bertujuan membantu para semeton yang kurang mampu sehingga dapat melaksanakan kewajiban kepada keluarga yang telah meninggal melalui upacara pengabenan ( Pitra Yadnya ). Dengan pelaksanaan pengabenan kolektif ini akan dapat menghemat biaya namun tidak mengurangi inti pelaksanaan  upacara pengabenan tersebut serta akan menyederhanakan upakara banten yang selama ini sangat memberatkan umat, apabila tidak ada sumber sastranya. Besarnya biaya yang dikeluarkan diperinci persawa sebagai berikut : untuk Mungkah sebesar Rp. 2.500.000,-, Mukur sebesar Rp. 2.000.000,-Nglungah sebesar Rp. 300.000,-, sedangkan yang khas pengabenan kali ini adalah melaksanakan upacara “ Pengepah Ayu “ akibat keguguran atau mengugurkan kandungan ( Dhanda Bharunana ) dengan umur kandungan mulai 2 minggu dengan biaya sebesar Rp. 200.000,-. Tidak menutup kemungkinan bahwa pelaksanaan pengabenan bersama ini juga dapat diikuti oleh para semeton Maha Warga bhujangga Waisnawa yang ada di luar Kabupaten Jembrana, dengan batas waktu pendaftaran tgl. 8 Agustus 2010. Disamping pembahasan mengenai pengabenan bersama/kolektif juga dibahas pula program Donatur Tetap. Program ini juga merupakan program kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa Kabupaten Jembrana 2010 – 2015. Program ini bertujuan mengumpulkan dana yang nantinya akan dipergunakan untuk memelihara tetamian leluhur seperti : pura ( Beji Pura Jatiluwih, Beji Pura Teledu Nginyah ),  lontar – lontar, memelihara gria – gria yang ada, pembangunan fisik lainnya serta dana untuk menjalankan kegiatan organisasi. Besarnya dana yang dipuniakan tergantung kemampuan para semeton, yang diharapkan bukan besar kecilnya dana donasi tetapi yang paling penting adalah rasa turut memiliki dan bersama – sama ikut memelihara tetamian leluhur. Dana ini akan dipungut tetap setiap bulan dengan mengisi formulir yang telah disediakan.
Dok. Pesraman Teledu Nginyah- Jembrana.